Sudah lebih dari sepuluh tahun saya hidup dari merangkai kata. Dari puisi, esai, cerpen, sampai konten promosi brand. Laptop dan secangkir kopi menjadi saksi, bagaimana saya bisa duduk delapan jam lebih tanpa berpaling dari layar. Dalam dunia menulis, alur ide bisa datang kapan saja dan saya terbiasa mengejarnya hingga titik terakhir. Tapi, siapa sangka, yang awalnya hanya dianggap sepele, bisa menghambat segalanya.
Semuanya dimulai dari gejala yang saya abaikan. Mata saya sering terasa sepet, terutama saat menulis dari pagi hingga sore. Saya pikir, “Ah, mungkin cuma kurang tidur.” Tapi hari demi hari, rasa itu berubah jadi perih, menusuk setiap kali saya menatap layar putih. Satu paragraf selesai, saya harus berkedip berulang kali. Dan saat malam tiba, mata ini rasanya begitu lelah, berat seakan membawa beban tulisan yang belum selesai.
Sebagai penulis, saya terbiasa menghadapi writer’s block. Tapi kali ini bukan pikiran saya yang macet melainkan mata saya yang menolak bekerja. Rasa nyeri itu makin sering muncul, terutama saat saya harus merampungkan naskah klien yang deadlinenya semakin dekat.
Saya terdiam. “Apa saya perlu periksa ke dokter mata?” Tapi jadwal saya padat, dan saya tahu, saya butuh solusi cepat. Hingga suatu sore, di sela istirahat menulis, saya teringat percakapan ringan di grup penulis.
“Kalau mata mulai protes karena kelamaan ngetik, gue selalu tetesin Insto Dry Eyes. Nggak usah tunggu parah dulu.”Kalimat itu terus terngiang.
Saat Mata Perih dan Kata Tak Lagi Mengalir
Hari itu, saya sedang menyelesaikan cerita pendek untuk sebuah kompetisi. Tenggat waktunya esok pagi. Saya sudah punya kerangka, karakter, bahkan twist cerita. Tapi saat semua siap ditumpahkan ke dalam tulisan, mata saya mulai merah. Bukan karena menangis, tapi karena saya memaksanya terus menatap layar.
Setiap huruf yang saya ketik, terasa seperti serpihan kaca yang menyayat pandangan. Saya sempat mencoba menutup mata sejenak, berharap rasa perih itu hilang, tapi tidak. Justru makin terasa menusuk. Saya bangkit dari meja, berjalan ke dapur, membasuh muka, bahkan mencoba kompres mata. Tidak ada yang benar-benar membantu. Malam itu, saya menyerah. Bukan karena ide habis, tapi karena mata ini tak sanggup diajak kompromi.
Di pagi hari, setelah tidur yang tak nyenyak, saya bangun dengan rasa bersalah karena tulisan belum selesai. Saya melirik meja kerja, dan di sana, botol kecil itu, Insto Dry Eyes sudah tergeletak sejak minggu lalu. Saya membelinya karena diskon, lalu lupa memakainya.
Tanpa berpikir panjang, saya coba teteskan. Dingin. Nyaman. Dan anehnya, rasa sepet dan lelah yang semalam seperti perlahan mereda. Tak sampai lima menit, mata saya terasa lebih segar. Saya kembali duduk, membuka laptop, dan mencoba menulis ulang paragraf yang semalam terbengkalai. Ternyata, satu tetes kecil bisa membuka jalan yang semalam tertutup.
Bukan hanya cerita itu selesai, saya pun merasa lebih ringan. Seperti menemukan kembali kendali atas pekerjaan saya, yang sempat terhambat hanya karena saya anggap mata kering itu masalah sepele.
Insto Dry Eyes, Penjaga Produktivitas Tanpa Banyak Drama
Sejak kejadian itu, saya mulai lebih peka terhadap kondisi mata sendiri. Bukan hanya soal kenyamanan, tapi juga karena saya menyadari: mata adalah pintu ide. Kalau mata terganggu, mustahil tulisan bisa mengalir. Saya mulai memperhatikan rutinitas menulis, juga hal-hal kecil yang dulu saya abaikan:
Saya menerapkan aturan 20-20-20: setiap 20 menit menulis, saya berhenti selama 20 detik, menatap benda sejauh 20 kaki. Rasanya sederhana, tapi berdampak besar.
Saya aktifkan fitur "eye comfort" di gadget, apalagi saat menulis di malam hari. Saya juga mulai menyadari bahwa AC yang langsung mengarah ke wajah bikin mata cepat kering—dan saya ubah posisinya.
Tapi satu hal yang tidak pernah saya lupa sekarang: selalu membawa Insto Dry Eyes. Sejak hari itu, botol kecil ini jadi bagian dari peralatan kerja saya, sama pentingnya dengan laptop dan buku catatan. Karena, sering kali yang membuat kita berhenti bukan karena kehilangan ide, tapi karena tubuh dan mata yang minta istirahat.
Dan kalaupun belum bisa istirahat total, cukup satu tetes untuk kembali membuka jalan. Tetesin Insto Dry Eyes bukan hanya rutinitas baru, tapi jadi bentuk kepedulian kecil untuk diri sendiri.
Saya jadi paham satu hal: mata kering jangan sepelein. Rasa sepet, perih, dan lelah bukanlah hal remeh yang bisa ditunda-tunda. Karena jika dibiarkan, ia bisa menghancurkan produktivitas, bahkan membunuh ide-ide terbaik yang seharusnya lahir dari proses menulis.
Kini, setiap kali saya menghadapi deadline, saya tidak hanya mempersiapkan riset dan referensi—tapi juga memastikan mata saya cukup kuat untuk menemani proses itu. Karena, menjadi penulis kreatif bukan hanya tentang ide besar, tapi juga soal menjaga hal-hal kecil termasuk kesehatan mata.
Dan saat kata tak lagi mengalir, saya tahu apa yang harus saya lakukan. Tetesin Insto Dry Eyes. Lanjutkan cerita.
Comments
Post a Comment